Setelah 4,5 thn aku merantau ke Jakarta, meninggalkan Ibu dan adikku, Ida di kampung. Akhirnya aku memberanikan diri untuk pulang kampung, sekalian berlebaran disana. Sewaktu meninggalkan kampung, Ibu menaruh harapan besar buatku agar aku dapat menjadi orang sukses hingga tak sia-sia semua pengorbanannya.
“Assalamu’alaikum” sapaku ketika sampai dirumah.
Ida langsung menyambutkku dengan hangat.
“Walaikumssalam…ee Mas Yanto, Ibuuu Mas Yanto uda datang Bu..”teriak Ida ketika membukakan pintu untukku.
Ah…rumah kecil ini. Rumah didesa terpencil ini, rumah yang hanya dengan penerangan listrik secukupnya, rumah tanpa hiburan elektronik, rumah yang selalu membuatku ingin pulang.
“Eee…Yanto” sambut Ibuku dari dalam. Ibu langsung memeluku dengan erat. Teringat kembali dahulu ketika aku hendak ke Jakarta, Ibu merelakan menjual sepetak tanah kebun peninggalan almarhum Bapak untuk modalku ke Jakarta. Aku berjanji sebelum aku menjadi ‘orang’ aku tidak akan kembali. Dan kini…akhirnya aku memberanikan diri untuk pulang, semata-mata karena kerinduanku kepada Ibu.
“Ayo masuk, kamu pasti capek sekali, Ibu kira baru nanti malam kamu sampai rumah”
“Iya Ibu, kebetulan perjalannan lancar, jadinya aku bisa cepat sampainya”
“Ayo..ayo…masuk., kamu taruh dulu tas kamu di kamar, terus kamu mandi dulu biar segar, Da coba kamu lihat di dapur, nasi yang ibu tanak sudah matang atau belum, sambelnya sudah kamu ulek, sebentar lagi mau magrib, sudah lama kita tidak berbuka dengan masmu ini?”
“Bu, jangan repot-repot Bu, aku kan anak Ibu, bukan tamu kehormatan” kataku tersenyum.
Ibu melihatku dengan tatap kangen lalu Ibu memeluk lagi. Aku balas meluk Ibu erat-erat. Tanpa disadari air mata Ibu mulai keluar. Aku menciumin pipi ibu dan berbisik, “Yanto kangen Ibu”. Dan ibu pun tersenyum sambil menggangguk.
“Yanto mandi dulu ya Bu”
Tak berapa lama setelah aku mandi dan berasa segar, terdengar suara bedug magrib. Kami berbuka puasa dengan makanan-makanan buatan Ibu yang sangat aku rindukan. Nasi hangat beraroma pandan, sayur bayam, tempe bacem dan sambel pete yang lezat. Setelah kenyang kamipun duduk diteras rumah sambil berbincang-bincang.
“Bagaimana kerjaan kamu To?”
“Ya alhamdulliah Bu, berkat doa Ibu saya bisa seperti sekarang”
“Emang Mas Yanto kerja diperusahaan apa?”
“Diperusahaan asing, perusahan luar negri”
“Kok bisa Mas?”
“Ya bisa lah, kalau mau berusaha pasti bisa”
“Ooooo, trus emang Mas kerjaanya apa? Nama kerjaannya Mas Yanto apa toh?”
“Mmmm….kalau ditanya nama kerjaannya Da……itu singkatan Da, pake bahasa Inggris” kataku sambil tersenyum.
“Wah hebat tenan Masku iki. Nama kerjaannya saja bukan bahasa Indonesia” Ujar Ida sambil berasa takjup.
“Pasti penting banget ya kerjaannya Mas”
Aku tersenyum saja mendengarnya. “Karyawan-karyawan ditempat Mas kerja, semuanya Mas yang urusin.”
“Kok Mas yang ngurus? Emangnya mereka ga bisa?”
“Bukannya ga bisa tapi ya..memang begitu, mereka itu kalau ada apa-apa pasti nyariin Mas. Ini aja Mas baru bisa ke kampung setelah semuanya karyawan lainnya libur.”
“Trus nanti Mas masuknya juga duluan?”
“Untungnya sekarang Mas punya temen, karyawan baru sih, tapi Mas uda trainingin dia ini itunya”
“Apa itu train…”
“Eh maksudnya, Mas uda ngajarin ini itunya, kalau ada yang butuh apa harus nyari dimana dia uda tau. Tapi semoga dia bisa menjalankan dengan baik. Kasian juga nanti karyawan yang lain kalau sampe dia salah-salah. Moga-moga aja orang-orang di kantor ga pada nyariin Mas”
Beberapa hari kemudian setelah libur Lebaran usai, disuatu kantor diperkantoran daerah Sudiman Jakarta.
“Yanto…..Yanto....,eh Lusi kamu liat Yanto ga? Aku laper nih, mau nyuruh beli makan”
“Ya..mba, Yanto kan masih pulang kampung, suruh beliin OB yang lain saja”
Dedicated to Office Boy. Bayangkan kantor tanpa office boy….
“Assalamu’alaikum” sapaku ketika sampai dirumah.
Ida langsung menyambutkku dengan hangat.
“Walaikumssalam…ee Mas Yanto, Ibuuu Mas Yanto uda datang Bu..”teriak Ida ketika membukakan pintu untukku.
Ah…rumah kecil ini. Rumah didesa terpencil ini, rumah yang hanya dengan penerangan listrik secukupnya, rumah tanpa hiburan elektronik, rumah yang selalu membuatku ingin pulang.
“Eee…Yanto” sambut Ibuku dari dalam. Ibu langsung memeluku dengan erat. Teringat kembali dahulu ketika aku hendak ke Jakarta, Ibu merelakan menjual sepetak tanah kebun peninggalan almarhum Bapak untuk modalku ke Jakarta. Aku berjanji sebelum aku menjadi ‘orang’ aku tidak akan kembali. Dan kini…akhirnya aku memberanikan diri untuk pulang, semata-mata karena kerinduanku kepada Ibu.
“Ayo masuk, kamu pasti capek sekali, Ibu kira baru nanti malam kamu sampai rumah”
“Iya Ibu, kebetulan perjalannan lancar, jadinya aku bisa cepat sampainya”
“Ayo..ayo…masuk., kamu taruh dulu tas kamu di kamar, terus kamu mandi dulu biar segar, Da coba kamu lihat di dapur, nasi yang ibu tanak sudah matang atau belum, sambelnya sudah kamu ulek, sebentar lagi mau magrib, sudah lama kita tidak berbuka dengan masmu ini?”
“Bu, jangan repot-repot Bu, aku kan anak Ibu, bukan tamu kehormatan” kataku tersenyum.
Ibu melihatku dengan tatap kangen lalu Ibu memeluk lagi. Aku balas meluk Ibu erat-erat. Tanpa disadari air mata Ibu mulai keluar. Aku menciumin pipi ibu dan berbisik, “Yanto kangen Ibu”. Dan ibu pun tersenyum sambil menggangguk.
“Yanto mandi dulu ya Bu”
Tak berapa lama setelah aku mandi dan berasa segar, terdengar suara bedug magrib. Kami berbuka puasa dengan makanan-makanan buatan Ibu yang sangat aku rindukan. Nasi hangat beraroma pandan, sayur bayam, tempe bacem dan sambel pete yang lezat. Setelah kenyang kamipun duduk diteras rumah sambil berbincang-bincang.
“Bagaimana kerjaan kamu To?”
“Ya alhamdulliah Bu, berkat doa Ibu saya bisa seperti sekarang”
“Emang Mas Yanto kerja diperusahaan apa?”
“Diperusahaan asing, perusahan luar negri”
“Kok bisa Mas?”
“Ya bisa lah, kalau mau berusaha pasti bisa”
“Ooooo, trus emang Mas kerjaanya apa? Nama kerjaannya Mas Yanto apa toh?”
“Mmmm….kalau ditanya nama kerjaannya Da……itu singkatan Da, pake bahasa Inggris” kataku sambil tersenyum.
“Wah hebat tenan Masku iki. Nama kerjaannya saja bukan bahasa Indonesia” Ujar Ida sambil berasa takjup.
“Pasti penting banget ya kerjaannya Mas”
Aku tersenyum saja mendengarnya. “Karyawan-karyawan ditempat Mas kerja, semuanya Mas yang urusin.”
“Kok Mas yang ngurus? Emangnya mereka ga bisa?”
“Bukannya ga bisa tapi ya..memang begitu, mereka itu kalau ada apa-apa pasti nyariin Mas. Ini aja Mas baru bisa ke kampung setelah semuanya karyawan lainnya libur.”
“Trus nanti Mas masuknya juga duluan?”
“Untungnya sekarang Mas punya temen, karyawan baru sih, tapi Mas uda trainingin dia ini itunya”
“Apa itu train…”
“Eh maksudnya, Mas uda ngajarin ini itunya, kalau ada yang butuh apa harus nyari dimana dia uda tau. Tapi semoga dia bisa menjalankan dengan baik. Kasian juga nanti karyawan yang lain kalau sampe dia salah-salah. Moga-moga aja orang-orang di kantor ga pada nyariin Mas”
Beberapa hari kemudian setelah libur Lebaran usai, disuatu kantor diperkantoran daerah Sudiman Jakarta.
“Yanto…..Yanto....,eh Lusi kamu liat Yanto ga? Aku laper nih, mau nyuruh beli makan”
“Ya..mba, Yanto kan masih pulang kampung, suruh beliin OB yang lain saja”
Dedicated to Office Boy. Bayangkan kantor tanpa office boy….
5 comments:
mengharukan dengan keluguannya,kesederhanaannya.....:) that right posisi yang paling penting posisi paling bawah.....gw akuin tuh.....
wahhh... kesan aku bacanya, kok kayak cerpen yah??? menyedihkan, tapi akhirnya sungguh konyol...
eh, tapi kalau itu bener, keren juga yah, ada office boy doyan ngeblog... hahaha
hehehehe. gw setuju xort. susah kalo g ada office boy. (secara kerjaan gw juga kadang2 mirip office boy--ngelayani orang sana sini n mitanya macem2 pula. hehehehe.) anw,...kapan ya hari OB sedunia? :)
assalamualaikum,
cerita menarik bang,..
keluguannya memberikan makna tersendiri. OB memang diperlukan, mereka kerja melayani siapa saja setiap harinya..
wassalam
Gak disangka yah endingnya haha,,,
Ditunggu cerita berikutnya ...
Post a Comment